Wednesday 4 April 2018

GUS

GUS
Oleh: Ahsani F Rahman
Dunia pesantren menyimpan banyak hal untuk diceritakan, termasuk juga tentang Gus (putra kyai) yang sebodoh apapun, senakal apapun, seburuk apapun harus tetap di hormati karena jalur keturunannya, bukan karena murni kebaikannya sendiri. Tidak hanya tambahan gelar 'Gus' saja untuk penghormatan itu, tapi juga dengan bahasa Jawa halus untuk berkomunikasinya, harus merunduk atau bahkan mencium tangannya ketika berjumpa. Kemudian masih harus ada unsur 'kualat' jika melanggar peraturan ini, dan tidak 'barokah' jika kita melakukan diluar tradisi ini.
Gus bukanlah dewa yang terus disembah-sembah, dan bukan juga raja yang terus disanjung-sanjung tanpa tahu pahitnya hidup. Bahkan penghormatan pada Gus bisa mengalahkan penghormatan pada guru atau ustadz kita sendiri yang lebih pintar, sholih, dan jelas perjuangannya untuk kalangan santri. Sedangkan Gus hanya bermodalkan nasab dan mendapatkan amplop mengalir tanpa tahu jasa apa yang telah dilakukannya. Sedangkan para guru masih tetap saja hidup apa adanya bermodalkan barokah.
Kemudian, penambahan gelar Gus masih belum memiliki standar tersendiri, bahkan kecenderungan pemberian gelar secara 'instant' ini semakin membikin sosok Gus yang semaunya sendiri, semakin membikin 'manja' dalam menjalani kehidupan, hal-hal yang seharusnya dengan proses panang didapatkan dengan cara instant, lebih mengandalkan darah birunya dari pada aspek manusianya, dan seringnya tidak tahu apa yang harus dilakukan seorang Gus sebagai keturunan atau sebagai tauladan.
Pada kasus beberapa Pesantren, sang Pengasuh juga masih sering memanjakan putranya untuk menguasai dinasti Pesantren tanpa adanya proses yang tepat. Karena setiap Ayah selalu membanggakan anaknya kepada siapa pun. Namun hal-hal ini sangat tergantung dengan bagaimana sosok Kyai memiliki kebijaksanaan dan penerapan pada kenyataannya.
Tentu kita mengenal sosok-sosok Gus yang benar-benar mumpuni dan sosok Gus yang abal-abal. Alias numpang tenar, kaya, terkenal, dan mapan dari perjuangan para leluhur-leluhur sebelumnya. Sebelumnya pernah penulis kupas tentang 3 jenis Gus; Gus Nasab, Gus Nasib, dan Gus Nasob. Juga ada 5 macam Gus; Gus Jadzab, Gus Kasab, Gus Kalap, Gus Ngalap, dan Gus Balap. Dalam istilah klasifikasi ini tidak ada standar khusus, namun hanya mempermudah untuk memahami saja.
Beberapa kewajiban yang tidak seharusnya, seperti Gus pada Pesantren salaf wajib bisa baca kitab kuning, Gus pada Pesantren Modern wajib memiliki gelar formal, Gus pada Pesantren Qur'an wajib hafal Qur'an, Gus pada Pesantren Dakwah wajib menguasai retorika dan pidato, Gus pada Pesantren Desa Wajib bisa ilmu batin, dan seterusnya. Hal tersebut seakan-akan adalah sebuah keharusan jika menjadi keturunan Kyai Pesantren tersebut.
Mengandalkan nasab adalah salah satu hal terburuk dalam diri gus. Ada Maqolah dari Imam Syafi'i, Tentang berbangga dengan nasab (keturunan)
الكفاءة في الدين لا في النسب, لو كانت الكفاءة في النسب لم يكن أحد في الخلق كفوءا كفاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم, ولا لبنات الرسول صلى الله عليه وسلم.
Kehormatan terletak pada kadar agama bukan keturunan, andaikan kehormatan terletak pada keturunan niscaya tak ada seorang pun yang menandingi kehormatan Fatimah putri Rasulullah saw, atau putri-putri beliau lainnya.
Catatan lama, 15 Juni 2015
Dalam antologi pahit "Setelah hujan dan hujatan turun sore itu" Semoga bermanfaat dan mohon maaf jika ada kesalahan, dan juga bahan introspeksi menampar muka sendiri, sekaligus mohon pencerahan dari para netizen juga NUtizen.

No comments:

Post a Comment

Kantin Kejujuran Al Ishlahiyah

ini adalah salah satu cara kami untuk membentuk kejujuran santri.