Monday, 8 June 2020
Friday, 5 June 2020
TATA CARA SHOLAT IDUL FITRI
1. Sebelum sholat, disunnahkan untuk memperbanyak bacaan
takbir, tahmid, dan tasbih
2. Sholat dimulai dengan ‘ash-shalâtu
jâmi'ah’, tanpa azan dan
iqamah
3. Niat
shalat Idul Fitri, berbunyi;
أُصَلِّي سُنَّةً لعِيْدِ اْلفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ
(مَأْمُوْمًاإِمَامًا) لله تعالى
4. Membaca takbiratul ihram (الله
أكبر) sambil mengangkat kedua tangan
5. Membaca takbir 7 kali membaca:
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ
وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
6. Membaca surah al-Fatihah, diteruskan membaca surah pendek dari Quran
7. Ruku', sujud, duduk di antara dua sujud, seperti shalat
biasa
8. Pada rakaat kedua takbir sebanyak 5 kali membaca:
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ
وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
9. Membaca Surah al-Fatihah, diteruskan membaca surah yang
pendek dari Quran
10. Ruku', sujud, dan seterusnya hingga salam
11. Setelah salam, disunnahkan mendengarkan khutbah Idul
Fitri.
Gus Irul: Sebagai Kiai, Tetangga, dan Tauladan
Nama itu saya kenal beberapa tahun silam, lupa tepatnya. Gus Irul adalah sosok yang bersahaja, alim, istiqomah megajar, dan sabar. Dimata tetangga di jalan kramat, beliau tergolong warga yang loman dan tak banyak bercerita tentang kehebatan dirinya. Justru kehebatan itu nampak dari sebuah prestasi, pesantren yang dikelolanya, dan pengakuan orang lain. Beberapa kali berjumpa dalam rapat di MWC Singosari atau forum lain, Beliau seringkali diam dan tak banyak mengkritik. Malah justru diamnya ini yang membuat kami bertanya-tanya. Lumrahnya Kiai lain biasanya kritis dan tegas dalam berorganisasi dan mengabdikan dirinya masing-masing di NU. Ataupun jika Beliau tidak setuju atau ada saran, justru dengan sindiran otokritik (mengkritik dirinya sendiri) yang dimaksudkan untuk mengingatkan anggota lainnya dan dengan guyonan khas Beliau.
Padahal dulu sekitar tahun 2007 Beliau pernah mengkritik tentang
“Fenomena Habaib” di Malang dan sempat viral pada masa itu, namun kecintaan
Beliau pada habaib justru luar biasa dan Beliau pernah belajar langsung
bertahun-tahun pada Syaikh Muhammad Ismail Zain Al Yamanidi Makkah. Namun
beberapa tahun kemudian muncul fenomena yang dulu pernah dikritik oleh Beliau
sebelumnya.
Sebagai tetangga, Beliau nampak istimewa saat menerima kami bertamu,
“Lek sampean mriki niku sanes sowan, tapi ngopi” sering kali ucap Beliau dengan
tersenyum. Sambil menggunakan kaos polos, sarungan, rokok geo, dan kemudian
kopi hitam datang. Seringkali jika kami sowan, Beliau jarang bercerita atau
memberikan nasehat, malah seringnya bertanya berbagai macam hal. Padahal kami
datang itu ingin dapat nasehat, petuah, atau pengalaman-pengalan Beliau. Dan
seringkali sebagai penghormatan kepada tamu sebelum pulang ada makanan nasi
yang harus dimakan.
Pernah suatu hari kami sowan pada Beliau, malah kami yang tamu
diberi oleh-oleh saat akan pamit pulang, kami yang tamu kebetulan tidak membawa
apa-apa, karena memang niat silaturahmi dan tidak ada rencana sebelumnya kalau
mau sowan, mengingat kejadian saat itu malunya bukan main, diterima salah tidak
diterima juga salah (posisi malu dan serba salah), sudah minta do’a dan
nasehat, diberi minum dan makan, pulang masih diberi oleh-oleh. Dalam oleh-oleh
itu kami buka isinya gula dan teh celup, memang secara harganya murah, namun secara
perhatian ini harganya sangat mahal. Perlakuan sederhana seperti inilah justru
memiliki kesan tersendiri, bahwa menjadi orang baik itu sangat mudah. Inilah
alasan mengapa saya menghormati dan mengagumi Beliau sebagai tetangga.
Sebagai pemimpin dan pengasuh, Beliau seringkali sangat
mendukung kegiatan keagamaan ataupun Pondok Pesantren. Dulu saat saya bersama
Gus Rofiq (Al Hikmah), Ust. Syafii Ghiram (NH), Ust. Luthfillah (PIQ), Mas
Nuril (Saat itu belum menjadi kakak ipar, dan belum tahu kalau akan menjadi
kakak ipar, hehe), Ust. Agus, dan para perwakilan pesantren lainnya, pernah
aktif pada sebuah wadah ‘Formulassi: Forum Silaturrahmi Santri Singosari’. Saat
itu memang untuk mengumpulkan delegasi pesantren dan menyamakan visi misi untuk
bergerak dan berjuang bersama memang tidak mudah. Gus Irul menjadi satu-satunya
Pengasuh yang tidak hanya mendukung pergerakan ini, namun juga siap direpoti
dan membiayai agar organisasi ini tetap hidup, mengerahkan asatidz dan
pengurus, dan selalu memfasilitasi setiap kegiatan. Pesan Beliau pun sederhana
“Pokok sampean kabeh kudu mlaku, aku percoyo sampean kabeh, lek onok opo-opo
sampean mrinio” dan tidak mendikte atau mengkritisi organisasi ini harus apa
dan bagaimana. Hal ini menjadi kenangan istimewa bagi santri-santri muda
seperti kami.
Banyak sebenarnya cerita dan kenangan bersama Beliau yang tak
akan terlupakan, terutama kecintaan Beliau kepada Qur’an, bagaimana hidup
secara Qur’ani, bagaimana menjadi guru yang baik, bagaimana mengabdikan diri,
bagaimana menjadi tetangga, bagaimana hidup, bagaimana berkorban untuk orang
lain, dan lain sebagainya. Hari ini adalah 100 hari Beliau wafat dan bertepatan
dengan ulang tahun beliau ke 48 tahun, nanti pukul 15.30 pembacaan Yasin dan
Tahlil yang tidak dilaksanakan bersama-sama seperti biasanya dikarenakan masih
masa pandemi, namun tetap bisa mengikuti via live streaming dan dibaca dari
rumah masing-masing. Dan ini sedikit tentang perjuangan dan kisah Beliau yang
tidak akan hilang ditelan waktu. Wallahua’lam. Alfatihah.
Ahsani
Singosari, 1 Juni 2020 / 9 Syawal 1441
Kantin Kejujuran Al Ishlahiyah
ini adalah salah satu cara kami untuk membentuk kejujuran santri.