Pondok
Pesantren Al-IshlahiyahSingosari berawal dari adanya beberapa remaja puteri di
sekitar Bungkuk , Pagentan, Singosari, Kab Malang, yang mengaji pada Ibu
Hasbiyah Hamid yang pada masa itu (1953) baru mulai tinggal di Singosari karena
mengikuti suaminya (H. Mahfudz bin KH. Kholil Asy’ari). Sebelumnya, di kediaman Almaghfurlah
KH. Kholil Asy’ari yang beristrikan Nyai HalimahThohir (Puteri Almaghfurlah
Mbah Thohir Bungkuk) telah menjadi tempat mengaji para perempuan di sekitar
Bungkuk, Singosari, Malang, di bawah bimbingan Nyai Halimah, yang wafat
mendahului suaminya.
Kehadiran Ibunda Hasbiyah ke Singosari (setelah 100 hari wafatnya Nyai
Halimah) praktis menjadi penerus Nyai Halimah dalam peran mengajar ngaji
masyarakat sekitar dan membawa magnet tersendiri bagi remaja puteri di Singosari
untuk belajar mengaji. Semakin hari terus bertambah bahkan bermalam di kediaman
Almaghfurlah KH. Kholil Asy’ari. Hingga saat keluarga H.
Mahfudz-Hasbiyah berputra tiga dan berpindah rumah di seberang rumah orang
tuanya, tepatnya di Jalan Kramat Singosari, sebagian santripun ikut pindah
bersama keluarga H. Mahfudz-Hasbiyah.
Pada perkembangan berikutnya seiring dengan didirikannya PGANU
(Pendidikan Guru Agama Nahdlatul Ulama’) di lingkungan Perguruan Nahdlatul Ulama’
Singosari (kini dikenal sebagai Yayasan Pendidikan Al Maarif) oleh KH. Masykur
(Kakak ipar H. Mahfudz), banyak murid PGANU dari luar Singosari yang mengaji ke
Ibu Hasbiyah sekaligus tinggal dan menetap
di keluarga H. Mahfudz-Hasbiyah.
Dengan gairah pergerakan Nahdlatul Ulama’, H. Mahfudz, yang saat itu
menjadi pengurus MWTNU Singosari, mengorganisir para santri yang mengaji di
rumah beliau dengan membentuk komsariat IPPNU (Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul
Ulama’) yang diberi nama AL-ISHLAH (yang berarti maju/damai). Sejak saat itulah
kediaman keluarga H. Mahfudz dikenal dengan sebutan Pesantren Puteri Al-Ishlah,
dengan santri yang menetap sekitar 50 orang. Belakangan, nama Al-Ishlah diubah
menjadi Al-Ishlahiyah.
Waktu berjalan dengan pasti, dan jumlah santri kian bertambah. KH.
Mahfudz terus menerus berusaha bagaimana system belajar-mengajar di Pesantren
Puteri Al-Ishlahiyah bisa terus maju. Pada tahun 1983 mulai dirilis model
pengajian klasikal dalam bentuk Madrash Diniyah dan pada tahun yang sama KH.
Mahfudz mengupayakan legalitas lembaga pesantren dengan mencatatkan kepada
Notaris EH. Wijaya SH. Malang. Maka sejak saat itu Yayasan Pondok Pesantren
Al-Ishlahiyah tertuang dalam Akte Notaris No. 17/1/YPP/YYF/III/1983.EH.Wijaya
SH.
Dua tahun kemudian, tahun 1985, KH. Mahfudz Kholil berpulang ke
Rahmatullah saat menunaikan ibadah haji, dengan meninggalkan sekian rencana
pengembangan unit-unit pendidikan di lingkungan Yayasan Pondok Pesantren
Al-Ishlahiyah, termasuk wacana pengembangan Pesantren Putera. Sepeninggal KH.
Mahfudz, Ibu Nyai Hj. Hasbiyah Hamid bersama putera-puterinya bertekad untuk
melanjutkan cita-cita almarhum. Dan saat ini, Yayasan Pondok Pesantren
Al-Ishlahiyah telah berkembang dengan berbagai unit kegiatan sebagaimana yang
dicita-citakan pendiri. Dan saat ini unit-unit yang berkembang di Yayasan ini
meliputi Pesantren dan Madrasah Diniyah
Puteri Al-Ishlahiyah, Pesantren dan Madrasah Diniyah Putera Al-Ishlah, SMK
Terpadu Al-Ishlahiyah, Play Group dan Day Care Al-Ishlah.
KH. Mahfudz Kholil , lahir tahun 1926, adalah putera ke-4 dari pasangan KH. Kholil Asy’ari dan Nyai Halimah binti KH. Moh Thohir, Bungkuk, Singosari, Malang. Baliau nyantri di Lasem (MBah Baidlowi) dan Tebuireng (Mbah Hasyim Asy’ari). Saat nyantri di Tebuireng beliau bergabung dengan Tentara Indonesia dengan menggunakan nama Soegiono, ikut angkat senjata berjuang melawan penjajah. Dan setelah merdeka beliau kembali ke pesantren, tidak melanjutkan karir sebagai tentara sebagaimana sebagian temannya dari Malang, seperti Jusuf Ontowirjo, Mukhlas Rowi, dan Sullam Samsun.
Beberapa saat setelah pulang dari pesantren dan dianggap cukup umur, H. Mahfudz dinikahkan dengan gadis Jombang, Hasbiyah, puteri dari KH. Abdul Hamid Hasbulloh , adik KH. Abdul Wahab Hasbulloh yang saat itu sudah berteman baik dengan KH. Masykur (kakak ipar H. Mahfudz). Sebelum menikah, Hasbiyah remaja selain nyantri pada abahnya sendiri, juga menempuh pendidikan di Denanyar Jombang, nyantri di KH. Bishri Syansuri, paman iparnya sendiri.
Pertemanan KH. Masykur dengan KH. Wahab Hasbulloh adalah dalam rangka perintisan dan pengembangan Madrasatul Wathan di Singosari (kini dikenal sebagai Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari) yang salah satu waqifnya adalah KH. Kholil Asy’ari. Dalam kesulitan meyelenggarakan kegiatan pendidikan di Madrasatul Wathan karena senantiasa diawasi oleh tentara Belanda, KH. Masykur bermimpi bertemu seseorang yang bernama Abdul Wahab, yang bisa membantu perjuangan di Singosari. Beliau mencari orang yang dikenal dalam mimpi tersebut di Surabaya. Dan benar, dalam rapat Nahdlatul Tujjardi Surabaya KH. Masykur melihat seseorang yang persis dengan orangyang dilihat dalam mimpinya, KH. Wahab Hasbulloh.
Dalam pertemuan pertama tersebut Kyai Wahab menyatakan kesiapannya membantu Kyai Masykur mengemnangkan Madrasatul Wathan di Singosari. Sejak saat itulah KH. Wahab Hasbulloh sering hadir ke Singosari.
Kalender 2022 ini adalah konsep lukisan minimalis, kerjasama dengan Cak Suhar Sumbul dan desain saya. alhamdulillah bisa membuat karya meskipun masih jauh dari predikat baik. |