Saturday 16 January 2016

Pengertian dan Sejarah Aswaja

Materi Ke- 2
Pengertian dan Sejarah Aswaja
Oleh: Ahsani Fatchur Rahman

Pengertian
Pengertian Ahlusunnah Waljamaah berasal dari kata bahasa Arab, terdiri dari kata-kata Ahlun artinya keluarga, famili. Sunnah artinya jalan, tabi’at, prilaku kehidupan. Jama’ah artinya sekumpulan. Sedang pengertian istilah, Ahlusunnah berarti penganut sunnah Nabi saw. Dan Al-jama’ah berarti penganut i’tikad dan amaliah Nabi. Dan Shahabat-shahabat beliau.

                Jadi yang di sebut ahlusunnah Waljama’ah  ialah kaum yang menganut i’tikad dan amaliah Nabi SAW.. Dan sahabat-sahabatnya beliau.

                I’tikad dan amaliah Nabi SAW. dan sahabat-sahabatnya, telah termaktub dalam al-Qur’an dan sunah rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun rapi dan teratum kemudian di kumpulkan  dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama besar, Syeikh Abu Hasan Ali Al-Asy’ari ( Basrah 260-324 H).

                Hasil rumusan beliau itu kemudian terwujud menjadi berupa kitab tauhid, yang di jadikan pedoman bagi kaum Ahlusunnah Waljamaah disebut juga kaum  “Al-As’ariyah”, dikaitkan kepada tokohnya, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari.
... " سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً النَّاجِيَّةُ مِنْهَا وَاحِدَةُ وَالبَاقُوْنَ هَلَكِيٌّ. قِيْلَ: وَمَنْ النَّاجِيَّةُ؟ قَالَ: أَهْلُ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ. قِيْلَ:  وَمَا السُّنَّةُ وَالجَمَاعَةُ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ اليَوْمَ  وَأَصْحَابِيْ."

“…. Ummatku akan terpecah menjadi 73 kelompok. Hanya satu yang selamat, dan yang lainnya celaka”. Nabi saw ditanya: “Siapakah kelompok yang selamat itu ya Rasulallah?”. Nabi saw menjawab: “Yaitu kelompok Ahlussunnah wal Jam’ah.” Kemudian Nabi ditanya lagi: Apa itu sunnah dan jama’ah?”. Nabi menjawab: “Ialah apa yang aku lakukan saat ini dan para sahabatku.”
                Timbulnya golongan Ahlusunnah Waljamaah ialah pada abad  III Hijriyah. Pelopornya ialah dua orang ulama besar dalam bidang usuluddin, yaitu syeikh Abu Hasan Ali Asya’ri dan syeikh Abu Manshur Al-Maturidi.

                Golongan Ahlusunnah Waljamaah ini timbul sebagai reaksi dari firqoh –firqoh atau aliran –aliran yang sesat, untuk menangkis faham-faham firqah yang sesat itu, maka imam Al-Asy’ari tampil menyeponsori timbulnya faham  Ahlusunnah Waljamaah. Kemudian oleh Imam Al-Maturidi, di samping Ulama –ulama lain yang tidak sedikit ikut mengembangkan faham Ahlusunnah Walhjama’ah ini keseluruh penjuru dunia. Timbulnya golongan Ahlusunnah Waljamaah ialah pada abad  III Hijriyah. Pelopornya ialah dua orang ulama besar dalam bidang usuluddin, yaitu syeikh Abu Hasan Ali Asya’ri dan syeikh Abu Manshur Al-Maturidi.

  التوسط (At-Tawassuth (sikap tengah, sedang-sedang. Firman Allah SWT
             وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ( البقرة 143 )
  التوازن (At-Tawazun( keseimbangan. Allah SWT
            لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ( الحديد 25)
  الإعتدال (Al-I’tidal (Tegak lurus. Allah SWT
            يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ للهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (المائدة 8 )

       Lebih mendahulukan al-naql dari pada al-aql, karena menyadari kemampuan akal manusia itu sangat sedikit dan terbatas.
       Tidak terjebak kepada ekstrim kiri atau kanan.
       Memilih Sistem bermadzhab secara proporsional
       Mengakui, mengagungkan sekaligus mengikuti teladan dan jejak langkah para sahabat Nabi Muhammad SAW.
       Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya tergabung–baik tergabung secara sadar maupun tidak–dalam Nahdlatul ‘Ulama dan Muhammadiyah, yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.

Sejarah Aswaja
Dalam membicangkan soal sejarah Aswaja baik itu sebagai faham ataupun lembaga, sama halnya dengan membicangkan perkembangan Islam pasca wafatnya Rosul, sebab Islam semasa Rasul hidup relative tidak ada konflik, karena semua permasalahan yang muncul akan segera dijawab oleh Nabi Muhammad SAW yang sekaligus sebagai sumber hukum yang dapat berbicara dengan sabda (hadits) dan sunnahnya sebagai rumusan solusi atas segala permasalahan yang dapat di terima oleh mayoritas.

Setelah Muhammad SAW meninggal; konteks berbeda, silang pendapat mulai muncul ke permukaan sebagai asal muasal terbentuknya berbagai faham, tepatnya ketika pemilihan (kholifah). Terpilihnya Abu Bakar RA menjadi awal kekecewaan Ahlul Bait yang merasa paling berhak menggantikan nabi sebagai kholifah, yang kemudian memicu terbentuknya siyi’ah (pengikut fanatic Ali dan Ahlul Bait). Sampai akhirnya peristiwa terbunuhnya Usman yang menjadi fitnah besar dikalangan sahabat di kenal dengan “Fitnatul Kubro”, titik yang paling jelas dari permulaan berlarut-larutnya persilihan, perpecahan bahkan pembunuhan antar kaum muslimin yang sebenarnya sarat hanya masalah politik dan kekuasaan belaka.

Terbunuhnya Sahabat Usman hingga terpilihnya Ali telah menghantarkan umat islam menjadi beberapa golongan yang semula hanya permasalahan politik yang akhirnya melebar menjadi persoalan I’tikat (Kalam) dan persilihan agama yang berkisar pada masalah vonis perbuatan dosa dan sumber kejahatan dan sumber perbuatan dilingkungan manusia. Golongan-golongan tersebut adalah; (1) Syi’ah (pengikut Ali); (2) Muawwiyah (kaum yang tidak mengakui Ali sebagai Kholifah); (3) Siti Aisyah, dan (4) Khowarij (golongan yang tidak memihak semuanya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya dua pemimpin dalam Islam, yakni kepemimpinan Ali dan Muawwiyah. Perbedaan itu akhirnya diselesaikan dengan mengangkat senjata, yang kemudian dikenal dengan “Perang Siffin” dan diakhiri dengan kesepakatan ”Majlis Tahkim” dibukit Jandal antara pengikut Ali yang diwakili Abu Musa Al Asy’ari dan dipihak Muawwiyah diwakili Amru bin Ash. Keputusan yang menjadikan Muawwiyah sebagai kholifah yang sah tidak bisa diterima secara aklamasi oleh pengikut Ali yang merasa dikhianati.

Sebagian golongan Ali tidak sependapat dengan keputusan tersebut dan akhirnya membeci Ali karena dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran sebagaimana mereka membeci Muawwiyah karena melawan kholifah yang sah. Golongan inilah yang kemudian memisahkan diri dan menanamkan sebagai kaum Khowarij atau yang keluar dari Ali dan Muawwiyah. Dengan semboyan “Laa Hukmaa Illa Allah”; mereka menyatakan bahwa semua pihak baik dari Ali maupun Muawwiyah adalah kafir dan keluar dari Islam (Murtad) dan karenanya harus dimusuhi.

Keputusan Majlis Tahkim yang menjadikan Kholifah Bani Umayyah kepada lembaga yang memiliki legitimasi (secara defacto dan de yure) dan memiliki otoritas sebagai penguasa tunggal dunia Islam saat itu. Sementara pergulatan wacana antara Khowarij dan Murji’ah (yakni golongan yang menjauhkan dari pertikaian dan tidak mau turut campur dalam urusan kafir mengkafirkan, memutuskan salah atau benar karena vonis itu adalah hak prerogratif Allah, dan manusia tidak dapat memutuskannya), tidak disia-siakan oleh Muawwiyah untuk memperkuat sekaligus mengamankan kekuasaannya, dengan menjadikan Murji’ah sebagai faham keagamaan resmi Negara. Dengan alasan bahwa kasus putusan tahkim tidak dapat diputusi dosa/salah karena semua adalah keputusan Allah.

Namun hal ini juga mendapat perlawanan dari pihak oposisi yang dilakukan oleh Hasan Al-Bisri dengan menyarankan kepada kaum muslimin untuk mendisiplinkan diri sendiri dan mengerjakan kebajikan guna menghadapi pengadilan Tuhan dihari kiamat. Polarisasi wacana yang ditawarkan dua kelompok (Murjia’ah dan Oposisi) mengkristal menjadi dua lairan pemahaman yang selanjutnya dikenal dengan aliran Jabariayah dan Qodariyah, yang mana ini merupakan cikal bakal dan melambang menjadi kelompok Mu’tazilah.

Perbedaan antara fatalis Jabariyah dan rasionalitasnya Mu’tazilah mendorong Abu Hasan Al-Asyari cucu Abu Musa Al-Asy’ari dan murid Wasil Bin ‘Atto (pendiri Mu’tazilah) untuk juga menawarkan gagasan dengan mencoba menjembatani dan berusaha mengakomodir dua wacana tersebut dan menawarkan jalan tengah. Dari sinilah Al-Asy’ari menggunakan akal (ratio) dan wahyu (nash) dengan proposri yang sama dalam menegakkan faham teologinya. Ays’ari ingin menengahi faham Jabari yang fatalis dan Qodiri yang berfaham free will dan free act. Dengan berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri melainkan juga oleh Tuhan. Untuk mendukung pandangannya yang moderat itu dia membangun teori kasb (perolehan) dengan meniadakan sama sekali otoritas manusia, dan karenanya dianggap condong dengan Jabariyah dengan lebih mendahulukan wahyu (nash) daripada akal dengan dalih menetapkan akal menjadi dasar aqal (nash). Asy’ari dengan berbagai teorinya diatas yang akhirnya sebagai peletak dasar berdirinya faham Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja).



* Disampaikan pada Diskusi Komisariat Sunan Kaliaga, Bidang 3 (Keagamaan), pada hari Senin, 16 November 2015. PK PMII UM.

No comments:

Post a Comment

Kantin Kejujuran Al Ishlahiyah

ini adalah salah satu cara kami untuk membentuk kejujuran santri.