Tuesday 27 October 2015

Abi adalah Sosok Pendidik saya


Masih teringat jelas bagaimana dimasa-masa Balita hingga bangku MI banyak sekali buku-buku dan majalah yang disediakan dirumah untuk saya baca. Malah tidak sedikit beberapa buku saya sobek dan saya coret-coret. Saya masih ingat dulu setiap hari libur Abi (Ayah) mengajak kakak saya dan saya berjalan-jalan di Mitra (Mall di Malang era 90-an) kemudian dilanjut di pasar buku Loak Splindit untuk membeli buku atau majalah bekas.
Karena saat itu ekonomi keluarga saya tergolong rendah, mungkin dari pada beli di Gramedia mending di pasar loak saja. Begitu usaha Ayah saya untuk tetap mendidik anak-anaknya agar gemar membaca. Dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan Ayah saya tetap memeberikan pendidikan terbaik dalam konsep tangan beliau sendiri. Pendidikan semurahnya dan kualitas sebagusnya.
Padahal dahulu Ayah saya memiliki karir cemerlang di Jakarta, menolak menjadi pengajar tetap di Jakarta dengan gaji jutaan ketika itu. Namun lagi-lagi Ayah tidak memilih hidup yang serba mapan untuk sebuah tujuan, beliau lebih memilih di desa kecil Singosari, sekitar tahun 84 beliau hijrah di Singosari. Lebih memilih mengajar di TPQ tempat anak-anak kampung mengaji. Alhamrum Kakek saya adalah Mbah Mahfudz yang sebelumnya juga Guru ngaji kampung yang meninggal di Makkah. Akhirnya mau tidak mau Ayah yang meneruskan pengajian anak-anak kampung.
Terkadang saya sebagai anaknya sendiri malah kurang mendapat perhatian, karena juga mengurusi anak-anak orang lain. Saya ketika itu sering purik ketika ada anak lain yang lebih diutamakan dari pada saya sendiri. Namun pikiran itu lama-lama saya sadari bahwa memang Ayahku bukan milikku saja, tapi juga milik masyarakat, milik orang-orang yang membutuhkan, dan otomatis rasa kasih sayang seorang Ayah terbagi dengan anak yang lain. Malah ada beberapa santri yang lebih dahulu hafal juz Amma dari pada saya sendiri sebagai anaknya, padahal masih seusia saya.
Minat baca saya semakin menggila ketika saya jauh dari Orang Tua, saya di Pondokkan di Tambakberas. Terkadang membawa majalah di Pesantren merupakan hal yang kurang baik. Karena berdampak pada pemahaman pelajaran, kitab, dan sekolah.
Dan itu terbukti.
Dalam hal pendidikan Ayah memiliki metode Haliyah alias Pendidikan karakter alias contoh langsung sehari-hari. Tidak mengajak atau memerintah tapi memberi contoh. Namun sebagai manusia tentunya Ayah juga memiliki kekurangan, Ayah memiliki cita-cita agar semua anaknya berpendidikan dan berakhlaq. Dan beberapa nilai moral yang ditanam oleh Ayah kini semakin bermunculan dan berdampak pada kehidupan keluarga dan anak didiknya, Ayah memiliki sifat sederhana dan tidak menampakkan kebendaan yang dimiliki, ya memang kenyataannya tidak banyak yang dimiliki oleh Ayah. Ayah pernah berpesan "jadilah lelaki yang bermanfaat", bagi saya untaian cukup sederhana namun sangat dalam dengan makna, karena bagi saya menjalankan menjadi 'manfaat' itulah yang berat.
Bagi saya Ayah adalah segalanya, begitu Juga Ibu lebih segalanya. Sebuah keluarga kecil yang memiliki cita-cita besar, impian besar meski hanya dalam lingkup kecil. Saya tidak pernah malu menjadi bagian keluarga berprofesi guru ngaji kampung, saya bangga dan sangat bahagia.
# Selamat hari Ayah sedunia, terimakasih Ayah. Aku ingin membahagiakanmu dan meringankan beban-babanmu.

No comments:

Post a Comment

Kantin Kejujuran Al Ishlahiyah

ini adalah salah satu cara kami untuk membentuk kejujuran santri.