Tuesday 27 October 2015

Sebuah nama, sebuah cerita Mengenang Dima, setelah kepergiannya 25 Agustus 2013


Dima, begitulah ia dipanggil, saya mengenal ketika ia baru masuk sekolah Tsanawiyah sekitar tahun 2007, masih lucu dan imutnya dima, hingga tidak terasa sudah 7 tahun nama itu saya kenal dan pergi begitu saja dengan sakit selama 40hari perawatan di Rumah Sakit hingga sampai meninggalnya.
Saya mengenal dima dengan sosok yang jujur, apa adanya, rajin, dan periang. Ia termasuk anak lelaki terakhir yang sangat diharapkan oleh Ibunya. Selama
dipesantren dima begitu rajin dan sempat menjadi bendahara karena sikap jujur dan uletnya.
Masih tersimpan rapi arsip formulir pendaftaran dengan nama Mujahidil Iman, dengan disertai pas foto 3x4
berpeci yang masih sangat lugu dan polos. Dengan beberapa keterangan tanggal lahir Surabaya, 25 Desember 1995 alamat Pejaya Anugrah F.16 RT/RW
02/03 Kramatjego Sidoarjo. Ayah H. Abdul Muhith Toyib, sekolah MTs Al Ma’arif 01.
Kemudian setelah lulus dari Tsanawiyah Ayah Dima sowan ke Yai untuk pindah ke mojokerto, tapi beberapa bulan kemudian Dima ingin kembali Ke Langgar Genteng lagi, dan daftar di MA Al Maarif. Tak terasa beberapa bulan kemudian Ayah Dima meninggal dunia ketika ia masih beberapa bulan di pesantren. Mungkin ini pukulan yang berat bagi seorang anak seusia dia ketika itu, tapi tampaknya ia makin kuat dan dewasa diantara teman-teman yang
lainnya dengan kepergian Ayahnya.
Ditinggal orang
tua pada usia itu merupakan kenyataan pahit yang harus mau tidak mau bisa menerima, diantara teman-temannya yang masih bisa menikmati masa-masa
awal remaja. Saya tahu persis bagaimana ia sesekali menangis diserambi ketika malam hari, merindukan sang Ayah yang telah pergi untuk selamanya. Namun, saya menyesal telah membiarkannya malam itu, saya lebih sibuk dengan urusan saya yang lain. Tak tertasa sudah sampai kelas 3 Aliyah Dima menyambi menjaga di warung kopi Unyiel pinggir jalan raya singosari. Sehingga pelajaran diniyah
sering ia tinggalkan dengan alasan menjaga warung dengan penghasilan rata-rata 25ribu setiap malamnya. Baginya uang 25ribu sangatlah bermanfaat dari pada bermain dengan teman-teman seusianya. Masih tersimpan rapi beberapa buku keuangan warung tulisannya yang njlimet. Sesekali
Dima membuka buku LKS sambil menjaga warung membikinkan kopi ditengah bisingnya suasana warung ia sempatkan mengerjakan tugas sekolahnya. Belum lagi disambi dengan mencuci gelas, mangkuk, membersihkan meja, memunguti sampah, hingga menjelang subuh. Kemudian ia tidur
sebelum nanti paginya berangkat sekolah. Sungguh sangat iri saya melihat semangat juangnya di usia yang sangat masih muda.
Saya sempat membuka beberapa binder Dima yang tergeletak ketika ia tertidur pulas. Ia begitu mencintai seseorang perempuan, wah, rupanya ia sedang jatuh cinta dengan pujaan hatinya, terpampang jelas foto dan nama seseorang perempuan pujaan hatinya di
lembaran kertas itu. Perempuan itu begitu cantik dan kata teman-temannya prestasinya juga luar biasa ditambah moralnya yang bagus. Disebelahnya ada
Wasiman dan Noveka yang juga tertidur pulas menemani Dima. Yang semalaman tidak tidur untuk menjaga warung. Entah bagaimana cinta Dima saya kurang tau persis, apa bertepuk sebelah tangan atau sama bertepuk, entahlah. Saya tidak ingin mencampuri urusan privasi ketika itu.
Setelah warung kopi tutup, Dima berpindah haluan ke Bakso Latansa yang berjalan kira-kira 4 bulan. Kemudian setelah itu ia melanjutkan berjualan kopi
sendiri di Depan kampus IAIN Surabaya sebelah rel kereta api, dengan gerobak andalannya. Saya masih melihat semangat wirausaha di matanya. Ia tidak gengsi dan bisa menerima kenyataan hidup yang nyatanya tidak mudah.
Sudah sekian bulan saya jarang berkomunikasi dengannya. Mula-mula saja ada kabar bahwa ia sakit kritis, terkena Leukimia (Kangker Darah), saya sempatkan dengan sobat LAGENT (Cak Soleh, Mbak Zubet, Cak Nan, Cak Mut,
Cak Arik, dan Maulana kecil) tepatnya malam jumat, beberapa hari sebelum Dima meninggal. Kondisinya sangat memprihatinkan dan baru saja dioperasi sum-sumnya. Serentak saja semua teman-teman kaget dengan meninggalnya salah satu santri terbaik
Langgar Genteng.
Menurut nasehat orang-orang sepuh, “orang-orang baik terkadang meninggal di usia muda, mungkin sudah cukup baik menjalankan kehidupannya” . atau saya teringat dalam buku Catatan Seorang
demonstran soe hok gie: “ seorang filsuf yunani pernah menulis… nasib baik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan yang
tersial adalah umur tua. rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda“. yang jelas semua sudah garis Allah yang menetapkan, semua dari Allah dan akan kembali pada Allah.
Selamat jalan Dima, namamu akan tetap ada pada kami semua, semangatmu sangat bermanfaat bagi teman-temanmu, selamat jalan, kami selalu merindukanmu. Semoga seluruh amalmu ditreima Allah dan diampuni segala dosa-dosamu. Husnul khotimah. Amin Ya Allah.
‪#‎Repost‬ yang lalu

No comments:

Post a Comment

Kantin Kejujuran Al Ishlahiyah

ini adalah salah satu cara kami untuk membentuk kejujuran santri.