Tuesday 27 October 2015

micro history dan penjual pinggiran kota

Suatu ketika setelah perjalanan pulang dari kuliah badan terasa lelah dan ngantuk, saya putuskan berhenti dan ngopi sejenak di warung kecil depan SPBU Karanglo Singosari, lumayan agar tidak jatuh dari motor lagi karena ngantuk. Di warung tersebut terdapat sosok perempuan tua, kemungkinan sekitar 70 tahun usianya.
Awalnya saya biasa-biasa saja, namun setelah beberapa kali ke warung Ibu itu saya faham kalau beliau menjaga warung sendiri, memasak, belanja, dan lain sebagainya. Saya amati sedikit demi sedikit, bahwa orang ini memang sendirian.
Terkadang saya makan gorengannya juga tidak hangat dan tidak seberapa enak, apalagi warungnya di atas sungai dengan alas kayu terpasang adanya, awalnya saya makan di sini karena kebetulan, kemudian saya menjadi pelanggan karena memang sepi, saya kasihan melihat beliau, dari kasihan ini saya jadi sering mampir ke warung ini. Meski jauh dari kesan bersih, kumuh, dan kurang nyaman. Memang awal mula saya tidak tahan, lama-lama saya sudah terbiasa makan di warung ini.
Terkadang saya lihat sore hari gorengannya masih banyak, sedangkan maghrib tutup. Lantas akan di apakan gorengan ini besok. Sepertinya sudah tidak layak makan atau di jual. Hanya perasaan iba yang dapat saya ungkapkan. Sesekali saya melihat beliau membuang gorengan-gorengan itu dengan mata berkaca-kaca.
Terkadang pula saya beli gorengannya, atau kadang mengambil cuma dua biji, dan mengaku habis tujuh biji. Karena lagi-lagi tidak tega melihat realita rakyat miskin di sekitar daerah Singosari. Sedangkan beberapa deret sebelahnya terdapat rumah makan mewah dan megah yang dimiliki orang-orang tertentu atau orang non pribumi yang lebih diminati para orang-orang penduduk asli.
Dalam hal ini saya tidak berbicara soal ekonomi, namun soal kemanusiaan. Ya, soal manusia yang termarjinalkan keadaan. Atau soal indomart dan alfamart yang semakin mengusir penduduk pribumi yang tidak akan mungkin bisa menyaingi derasnya perubahan pasar dan persaingan usaha. Beberapa warung kecilpun kandas karena sepinya peminat jika mereka para penjual tidak kreatif dalam inovasi usahanya.
Catatan kecil ini bukan bermaksud menggurui atau mempromosikan warung ini, namun dari pengalaman ini bisa saya simpulkan bahwa sistem ekonomi pro rakyat tidak hanya di dukung oleh pemerintahnya sendiri, namun juga di dukung oleh rakyatnya sendiri.
1 km dari warung ini terdapat perusahaan Bentoel yang sahamnya dimiliki oleh Phillip Morris, terdapat Depo Bangunan milik Cina, terdapat Hotel Solaris milik investor asing, terdapat Hall Unggul, SPBU, dan semua milik orang-orang non pribumi. Disekitar perusahaan besar-besar ini ada ratusan orang miskin kelaparan dibalik megahnya gedung-gedung itu, salah satunya adalah nenek tua ini harus nekat berjualan meski jarang pembeli. Apalagi beliau seorang diri, jujur saya tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan dalam hatinya.
Hingga gorengan-gorengan itu tidak ada yang terbeli dan terbuang sia-sia. Nenek tua itu hidup sebatang kara, beliau memang manusia yang hidup diatas penderitaan dan tangisan-tangisan setiap harinya, yang mana tangisan itu tidak akan terdengar bagi mereka yang tuli dan buta melihat penderitaan manusia lainnya. jangan mengaku manusia jika kau masih bisa tertawa melihat orang menangis.
Dan nenek tua itu semakin tergerus waktu menunggu penantian panjang untuk kembali pada sang pencipta alam. Tak banyak orang tau beliau, biarkan angin dan awan menemani di setiap harinya. Cukuplah gorengan-gorengan yang terbuang itu menjadi saksi akan pahitnya kehidupan beliau.
# Part 2, Micro History

No comments:

Post a Comment

Kantin Kejujuran Al Ishlahiyah

ini adalah salah satu cara kami untuk membentuk kejujuran santri.