Tuesday 27 October 2015

Arti guru dan sebuah perjuangan


Suatu hari saya mendapat suatu kritikan yang tergolong sangat pedih, yaitu dengan kata-kata yang cukup sempurna untuk menyakiti hati ini. Yaitu tentang kemampuan membaca kitab saya yang tergolong rendah, pemahaman kosakata Bahasa Arab yang sedikit, kemampuan insya’ saya yang nol puthul, kemampuan muhadatsah saya, kemampuan Nahwu dan Shorof, ilmu arud, Bathsul Masa’il, sedikitnya referensi kitab yang telah saya kaji dan pantas tidaknya saya menjadi seseorang yang katanya disebut ‘Ustadz’ dan memimpin sebuah Madrasah Diniyah.
Ah, saya sesekali pernah menangis dikamar mandi sambil mengingat kata-kata itu tadi, karena saya malu jika terlihat menangis. Hehe maklum lelaki gak boleh cengeng. Apalagi yang menyampaikan kalimat itu bukan orang sembarangan bagi saya. Saya mencoba menghibur diri dengan adanya sebuah kalimat dari Pak Zainul Arifin; “bender, pinter, lan kober”. Kadang ada kalanya orang itu bender & kober tapi tidak pinter, ada juga yang pinter & kober tapi tidak bender, ada tipe yang bender & pinter tapi tidak kober, yang terburuk adalah wis gak bender, gak pinter, dan gak kober. Beruntunglah meski saya tidak pinter tapi masih kober dan semoga dijalan yang bener, amin.
Bagi saya untuk menjadi guru tidak harus pintar dahulu, tapi harus benar terlebih dahulu. Benar dalam artian memiliki moral yang baik, niat yang ikhlas, kedisiplinan, kemauan untuk memperbaiki diri yang kuat, dan lain sebagainya. Saya masih ingat nasehat Kyai Jamaluddin Ahmad: “ngajar setahun iku podo karo belajar limang tahun” dan ingat pesan Abi: “kau akan mendapat sedikit dari guru, mendapat lebih banyak dari teman, dan mendapatkan paling banyak jika kau menjadi guru”. Dan guru yang mendapat goncangan kurikulum 2013 akhir-akhir ini tidak akan sambat, karena selalu saja memiliki inisiatif untuk sebuah persoalan.
Kedua masalah honorarium guru yang tergolong minim, salah satu teman saya sempat akan mengakhiri untuk mengajar karena memang honornya sangat terbatas dan sambat atas kebutuhan sehari-hari yang semakin kompleks, apalagi beliau juga tidak memiliki pekerjaan lain selain guru, sesekali beliau mengeluh tentang tunggakan listrik rumah, pulsa, beras, kebutuhan istri dan anaknya yang masih 2 tahun, susu, bensin, kredit motor, dan lain sebagainya.
Dan akhirnya ia memutuskan untuk menjadi tukang bangunan, padahal ia adalah lulusan cumlaude S2 dan memang guru diskusi favorit saya. Saya tidak bisa berkata apapun, saya hanya terdiam tertegun atas kerasnya hidup yang mesti beliau jalani sebagai ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ yang jasanya tidak pernah dihargai sebagai pahlawan pendidik anak-anak bangsa sewajarnya, mungkin tergolong Oemar Bakri di zaman ini. Saya tidak berani berkomentar apapun ataulah memberi usul. Saya hanya berpikir di dalam otak beliau menyimpan banyak kreatifitas yang terpendam untuk kemajuan bangsa ini, namun mengapa tenaga itu menjelma menjadi tukang? sayang sekali, Padahal beliau adalah tergolong guru yang”bener, pinter, dan kober”.
Tulisan ini sebelumnya telah dibaca oleh teman saya dan menyarankan agar supaya diposting di facebook sebagai bahan renungan alias sambat. Hehe. Tetapi ada beberapa yang sengaja tidak ditampilkan demi menjaga amanah beliau. Dan beberapa kali saya juga dinasehati dari tindakan beliau. Saya beruntung berkumpul dengan orang-orang baik (wongkang sholeh kumpulono).

No comments:

Post a Comment

Kantin Kejujuran Al Ishlahiyah

ini adalah salah satu cara kami untuk membentuk kejujuran santri.