Tuesday 27 October 2015

Idul Fitriku, Idul Fitri Anda, dan Idul Fitri Kita


Idul fitri kali ini dari tadi pagi sampai sekarang sudah bertemu dengan kira-kira 200-an orang lebih, dan mengucapkan mantra khas tahunan “ngaturaken sedoyo lepat kulo” dan sampai pikiran kehabisan tema akan apa lagi pertanyaan yang harus saya bahas pada tiap orang yang berbeda-beda. Belum lagi masalah perut yang penuh dengan hidangan melimpah yang hampir susah berjalan karena kekenyangan. Namun membahas ini tidaklah penting. Yang penting saya bahas adalah hikmah setelah silaturrahim dari beberapa rumah yang telah saya dan keluarga saya kunjungi.
Ada sedikit obrolan yang sangat dalam bagi saya, Tadi selepas sholat ied dan istirahat dirumah Abi mengajak untuk Sowan Riyayan ke Yai Tolhah, dan saya hitung tamu yang keluar masuk setiap 10 menit berganti bergiliran sowan, saya amati sejak awal tema yang beliau bahas berbeda-beda, dan 10 menit itu kira-kira ada sekitar 25 orang, jadi 1 jam saja 150 orang yang sowan kepada beliau. Dan beliau masih hafal tentang satu persatu tamu yang datang, mulai anak-anaknya, pekerjaannya, permasalahannya, namanya, sejarahnya, dan lain sebagainya. Dan hingga sore ini jika dihitung 6 jam saja sudah 900 orang datang sowan pada beliau. Dengan ciri khas beliau bercerita sudah menandakan perhatian beliau yang luar biasa dan daya ingat yang super. Saya terheran-heran apa resepnya beliau dengan usia 80-an sehat bugar,daya ingat tajam, betah ngobrol lama, dan lain sebagainya. (seingat saya beliau kelahiran 1928)
Kedua, tadi saya sempat ngobrol dengan penjual bakso di depan rumah, saya menanyakan: “Lho Cak mboten riyaden ta? Kok tasek sadean”, beliau langsung menjawab “kulo niki tiang alit mas, mboten usum riyayan”. Saya bertanya lagi “lho kok mboten usum riyayan Cak?”. Beliau melanjutkan lagi: “tiang seng kulo kenal mboten katah mas, seng kulo sambangi sing celak-celak mawon, Njeh mboten ten griyo keranten kulo niki tiang mlarat mas, mboten wonten tanggi dugi ten grio kulo, jarang ingkang purun sambang ten grio kulo, njeh mboten diperlokno ten masyarakat mas, jarang tiang ingkang nyambangi. Terus lek kulo sambang ten tanggi sering dianggap kulo niki nedi-nedi, kulo sampek sungkan lek pas sambang kadang disangoni, padahal niat kulo mboten ngoten mas. Terus solusinipun yok nopo kinten-kinten mas?”.
Rasanya Mak Jleb pertanyaan itu dilontarkan pada saya, saya tidak bisa menjawab dan bingung seketika. Saya hanya bilang: “njeh mboten semerap kulo cak, sepuntene”. Pelajaran penting yang selama ini saya pandang sebelah mata yaitu realita sosial, saya tidak pernah berpikir sejauh itu, dan mirisnya lagi saya sudah bertahun-tahun kenal beliau, tapi saya tidak pernah tahu dimana rumahnya, berapa anaknya, dan hanya kenal wajah tidak kenal namanya. Oh, sunggu betapa egoisnya saya sebagai manusia yang seharusnya memanusiakan manusia. Sebenarnya masih banyak yang ingin saya tuliskan kembali hanya untuk sekedar berbagi cerita tentang orang-orang kecil. Namun, saya terlalu kemaruk menulis alias dikit-dikit menulis, yang saya kira lebih banyak orang yang lebih faham dari pada saya namun mungkin saja tidak mereka dituliskan.
Ketiga, adalah masalah klasik pribadi kaum jomblo, selalu saja menjadi sasaran empuk ketika lebaran. “kapan rabi?”, dan saya lagi-lagi tidak bisa menjawab. “Easy question but difficult to answer”. “wes lulus kuliah? Semester piro?”. “kerjo opo?”. Tapi setidaknya adalah untuk memacu diri untuk mempersiapkan dengan serius apa yang akan terjadi dikemudian hari. Ini hikmahmya bersilaturahim / Silaturrahmi.
# The end of Ramadhan and The Last Fasting

No comments:

Post a Comment

Kantin Kejujuran Al Ishlahiyah

ini adalah salah satu cara kami untuk membentuk kejujuran santri.