Tuesday 27 October 2015

tak terasa waktu semakin dekat, menjelang 40 hari embah


jadi teringat jelas waktu masa kecilku dulu, setiap pagi setelah sarapan saya dan kakak saya (Ahmadi Fathul Wahab) selalu 'salim' ke embah yang sedang masak didapur atau sedang menangani masalah lain. dengan teriak lantang kami mencari, "embah....embah...., nyuwun sangune mbah", kemudian di bukakan omlpong bekas susu dancow berisi uang recehan, saya masih ingat betul setip hari uang saku saya 250 rupiah, waktu itu uang segitu untuk jajan cilok saja 10 rupiah per biji, untuk beli es 25 rupiah, beli mainan 100rupiah, dan masa di MI Al Maarif tinggal kenangan.
setelah kami dikasih uang saku, kami langsung berangkat sekolah. salim ke embah dan berangkat sekolah, saya masih ingat benar pesan embah sebelum sekolah, "sekolah ojo nakal, hormato karo gurune", pesan itu selalu diulang-ulang, bisa jadi karena melihat kenakalan saya yang tidak kunjung henti.
ditengah-tengah kesibukan beliau masih saja sempat menyanyikan bait-bait lagu untuk saya, masih sempat ngopeni pakaian, sandal, kopyah, dan lain sebagainya ketika usia saya sekitar 5 tahun. seakan-akan selalu ada waktu untuk siapa saja, dahulu saya tidak sempat berpikir sejauh ini. setahu saya saya sangat senang diperhatikan, dulu saya selalu duduk disebelah embah setiap ada tamu atau ketika menyidang santri yang 'nakal' atau santri bermasalah, mengapa saya senang duduk dengan embah? pikiran saya sangat simpel ketika itu, seingat saya embah tidak pernah marah sama sekali pada saya, senakal apapun saya ketika itu atau ulah apapun yang saya perbuat, beliau selalu mengatakan: "oh, arek pinter, dadi arek soleh!", padahal yang lainnya selalu memarahi saya atau menjewer.
permasalahan dan kasus santri setahu saya juga lebih kompleks dari pada sekarang, ada beberapa santri putri yang sempat mencuri di supermarket di sidang oleh embah siang hari, ada santri yang berpacaran berhari-hari tidak dipesantren, ada santri yang sempat sampai gila, ada santri putri yang korban mesin diesel, sering juga ada maling masuk pesantren, ada preman masuk pesantren, hal itu yang saya sempat amati pada masa kecilku dulu.
saya rindu pada keluarga, sedang obat rindu ini tidak pernah datang, saya sendiri setiap malam dalam kelas MAKSPA, berbicara pada lembaran, menulis, hingga tertidur, entah sampai kapan harus terus seperti ini, usia SMA seharusnya sweet seventeen, masa hura-hura, masa berpacaran, masa senang-senangnya hidup, tapi cukup nasehat orang tua sebagai pijakan saya agar tetap tirakat, menghafal, belajar rajin, tidak pacaran, dan menahan diri, meski berat saya yakin pesan Abi dan Ibu benar, tidak mungkin orang tua menyesatkan anak. itu saja. malam ini juga belum makan, tadi tidak kebagian nasi, mau beli pas tidak punya uang dan hutang di Kang fendi 50ribu. oh lapar, akhirnya bawa air 1 botol saja, pengganti nasi. nasib jauh dari keluarga.
(catatan lama yang saya baca kembali, saya tulis di Pesantren Sunan Pandan Aran, Sleman Jogjakarta, 2006. saya selalu menulis ketika merindukan orang-orang yang saya cintai, sekedar mengabadikan jasa dan cinta mereka atau obat rindu ketika itu, yang hanya saya bisa lakukan adalah menulis tentang historiografi orang-orang kecil, sayang sekali 5 buku yang saya tulis hilang entah kemana)

1 comment:

  1. Kangen sangat sama Bu Nyai Hasbiyah.. Terima kasih sharingnya Gus.Tulisannya ringan namun sangat sarat akan emosi. Meski mungkin setelah titik harusnya huruf besar. Terus menulis! :)

    *salah satu alumni al-Ishlahiyah Putri

    ReplyDelete

Kantin Kejujuran Al Ishlahiyah

ini adalah salah satu cara kami untuk membentuk kejujuran santri.