Materi Ke- 2
Pengertian dan Sejarah Aswaja
Oleh:
Ahsani Fatchur Rahman
Pengertian
Pengertian Ahlusunnah
Waljamaah berasal dari kata bahasa Arab, terdiri dari kata-kata Ahlun artinya
keluarga, famili. Sunnah artinya jalan, tabi’at, prilaku kehidupan. Jama’ah artinya
sekumpulan. Sedang pengertian istilah, Ahlusunnah berarti penganut sunnah Nabi
saw. Dan Al-jama’ah berarti penganut i’tikad dan amaliah Nabi. Dan
Shahabat-shahabat beliau.
Jadi yang di sebut ahlusunnah Waljama’ah ialah kaum yang menganut i’tikad dan amaliah
Nabi SAW.. Dan sahabat-sahabatnya beliau.
I’tikad dan amaliah Nabi SAW. dan
sahabat-sahabatnya, telah termaktub dalam al-Qur’an dan sunah rasul secara
terpencar-pencar, belum tersusun rapi dan teratum kemudian di kumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama
besar, Syeikh Abu Hasan Ali Al-Asy’ari ( Basrah 260-324 H).
Hasil rumusan beliau itu kemudian terwujud menjadi
berupa kitab tauhid, yang di jadikan pedoman bagi kaum Ahlusunnah Waljamaah
disebut juga kaum “Al-As’ariyah”,
dikaitkan kepada tokohnya, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari.
... " سَتَفْتَرِقُ
أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً النَّاجِيَّةُ مِنْهَا وَاحِدَةُ
وَالبَاقُوْنَ هَلَكِيٌّ. قِيْلَ: وَمَنْ النَّاجِيَّةُ؟ قَالَ: أَهْلُ السُّنَّةِ
وَالجَمَاعَةِ. قِيْلَ: وَمَا السُّنَّةُ وَالجَمَاعَةُ؟ قَالَ: مَا أَنَا
عَلَيْهِ اليَوْمَ وَأَصْحَابِيْ."
“…. Ummatku
akan terpecah menjadi 73 kelompok. Hanya satu
yang selamat, dan yang lainnya celaka”. Nabi saw ditanya: “Siapakah kelompok
yang selamat itu ya Rasulallah?”. Nabi saw menjawab: “Yaitu kelompok
Ahlussunnah wal Jam’ah.” Kemudian Nabi ditanya lagi: Apa itu sunnah dan
jama’ah?”. Nabi menjawab: “Ialah apa yang aku lakukan saat ini dan para
sahabatku.”
Timbulnya golongan Ahlusunnah Waljamaah ialah pada
abad III Hijriyah. Pelopornya ialah dua
orang ulama besar dalam bidang usuluddin, yaitu syeikh Abu Hasan Ali Asya’ri
dan syeikh Abu Manshur Al-Maturidi.
Golongan Ahlusunnah Waljamaah ini timbul sebagai
reaksi dari firqoh –firqoh atau aliran –aliran yang sesat, untuk menangkis
faham-faham firqah yang sesat itu, maka imam Al-Asy’ari tampil menyeponsori timbulnya
faham Ahlusunnah Waljamaah. Kemudian
oleh Imam Al-Maturidi, di samping Ulama –ulama lain yang tidak sedikit ikut
mengembangkan faham Ahlusunnah Walhjama’ah ini keseluruh penjuru dunia. Timbulnya
golongan Ahlusunnah Waljamaah ialah pada abad
III Hijriyah. Pelopornya ialah dua orang ulama besar dalam bidang
usuluddin, yaitu syeikh Abu Hasan Ali Asya’ri dan syeikh Abu Manshur
Al-Maturidi.
التوسط (At-Tawassuth
(sikap tengah, sedang-sedang. Firman Allah SWT
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا
شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ( البقرة 143
)
التوازن (At-Tawazun( keseimbangan. Allah SWT
لَقَدْ أَرْسَلْنَا
رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ
لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ( الحديد 25)
الإعتدال (Al-I’tidal
(Tegak lurus. Allah SWT
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ للهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ
لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (المائدة 8 )
• Lebih mendahulukan al-naql dari pada al-aql, karena
menyadari kemampuan akal manusia itu sangat sedikit dan terbatas.
• Tidak terjebak kepada ekstrim kiri atau kanan.
• Memilih Sistem bermadzhab secara proporsional
• Mengakui, mengagungkan sekaligus mengikuti teladan dan jejak langkah
para sahabat Nabi Muhammad SAW.
• Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham
Ahlussunnah wal Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan
ini adalah penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya tergabung–baik
tergabung secara sadar maupun tidak–dalam Nahdlatul ‘Ulama dan Muhammadiyah,
yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah
wal-Jama’ah.
Sejarah
Aswaja
Dalam membicangkan soal sejarah Aswaja baik itu sebagai faham
ataupun lembaga, sama halnya dengan membicangkan perkembangan Islam pasca
wafatnya Rosul, sebab Islam semasa Rasul hidup relative tidak ada konflik,
karena semua permasalahan yang muncul akan segera dijawab oleh Nabi Muhammad
SAW yang sekaligus sebagai sumber hukum yang dapat berbicara dengan sabda
(hadits) dan sunnahnya sebagai rumusan solusi atas segala permasalahan yang
dapat di terima oleh mayoritas.
Setelah Muhammad SAW meninggal; konteks berbeda, silang pendapat
mulai muncul ke permukaan sebagai asal muasal terbentuknya berbagai faham,
tepatnya ketika pemilihan (kholifah). Terpilihnya Abu Bakar RA menjadi awal
kekecewaan Ahlul Bait yang merasa paling berhak menggantikan nabi sebagai
kholifah, yang kemudian memicu terbentuknya siyi’ah (pengikut fanatic Ali dan
Ahlul Bait). Sampai akhirnya peristiwa terbunuhnya Usman yang menjadi fitnah
besar dikalangan sahabat di kenal dengan “Fitnatul Kubro”, titik yang paling
jelas dari permulaan berlarut-larutnya persilihan, perpecahan bahkan pembunuhan
antar kaum muslimin yang sebenarnya sarat hanya masalah politik dan kekuasaan
belaka.
Terbunuhnya Sahabat Usman hingga terpilihnya Ali telah menghantarkan
umat islam menjadi beberapa golongan yang semula hanya permasalahan politik
yang akhirnya melebar menjadi persoalan I’tikat (Kalam) dan persilihan agama
yang berkisar pada masalah vonis perbuatan dosa dan sumber kejahatan dan sumber
perbuatan dilingkungan manusia. Golongan-golongan tersebut adalah; (1) Syi’ah
(pengikut Ali); (2) Muawwiyah (kaum yang tidak mengakui Ali sebagai Kholifah);
(3) Siti Aisyah, dan (4) Khowarij (golongan yang tidak memihak semuanya. Hal
inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya dua pemimpin dalam Islam, yakni
kepemimpinan Ali dan Muawwiyah. Perbedaan itu akhirnya diselesaikan dengan
mengangkat senjata, yang kemudian dikenal dengan “Perang Siffin” dan diakhiri
dengan kesepakatan ”Majlis Tahkim” dibukit Jandal antara pengikut Ali yang
diwakili Abu Musa Al Asy’ari dan dipihak Muawwiyah diwakili Amru bin Ash.
Keputusan yang menjadikan Muawwiyah sebagai kholifah yang sah tidak bisa
diterima secara aklamasi oleh pengikut Ali yang merasa dikhianati.
Sebagian golongan Ali tidak sependapat dengan keputusan tersebut dan
akhirnya membeci Ali karena dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran
sebagaimana mereka membeci Muawwiyah karena melawan kholifah yang sah. Golongan
inilah yang kemudian memisahkan diri dan menanamkan sebagai kaum Khowarij atau
yang keluar dari Ali dan Muawwiyah. Dengan semboyan “Laa Hukmaa Illa Allah”;
mereka menyatakan bahwa semua pihak baik dari Ali maupun Muawwiyah adalah kafir
dan keluar dari Islam (Murtad) dan karenanya harus dimusuhi.
Keputusan Majlis Tahkim yang menjadikan Kholifah Bani Umayyah kepada
lembaga yang memiliki legitimasi (secara defacto dan de yure) dan memiliki
otoritas sebagai penguasa tunggal dunia Islam saat itu. Sementara pergulatan
wacana antara Khowarij dan Murji’ah (yakni golongan yang menjauhkan dari
pertikaian dan tidak mau turut campur dalam urusan kafir mengkafirkan,
memutuskan salah atau benar karena vonis itu adalah hak prerogratif Allah, dan
manusia tidak dapat memutuskannya), tidak disia-siakan oleh Muawwiyah untuk
memperkuat sekaligus mengamankan kekuasaannya, dengan menjadikan Murji’ah
sebagai faham keagamaan resmi Negara. Dengan alasan bahwa kasus putusan tahkim
tidak dapat diputusi dosa/salah karena semua adalah keputusan Allah.
Namun hal ini juga mendapat perlawanan dari pihak oposisi yang
dilakukan oleh Hasan Al-Bisri dengan menyarankan kepada kaum muslimin untuk
mendisiplinkan diri sendiri dan mengerjakan kebajikan guna menghadapi
pengadilan Tuhan dihari kiamat. Polarisasi wacana yang ditawarkan dua kelompok
(Murjia’ah dan Oposisi) mengkristal menjadi dua lairan pemahaman yang
selanjutnya dikenal dengan aliran Jabariayah dan Qodariyah, yang mana ini
merupakan cikal bakal dan melambang menjadi kelompok Mu’tazilah.
Perbedaan antara fatalis Jabariyah dan rasionalitasnya Mu’tazilah
mendorong Abu Hasan Al-Asyari cucu Abu Musa Al-Asy’ari dan murid Wasil Bin
‘Atto (pendiri Mu’tazilah) untuk juga menawarkan gagasan dengan mencoba
menjembatani dan berusaha mengakomodir dua wacana tersebut dan menawarkan jalan
tengah. Dari sinilah Al-Asy’ari menggunakan akal (ratio) dan wahyu (nash)
dengan proposri yang sama dalam menegakkan faham teologinya. Ays’ari ingin
menengahi faham Jabari yang fatalis dan Qodiri yang berfaham free will dan free
act. Dengan berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukanlah diwujudkan oleh
manusia sendiri melainkan juga oleh Tuhan. Untuk mendukung pandangannya yang
moderat itu dia membangun teori kasb (perolehan) dengan meniadakan sama sekali
otoritas manusia, dan karenanya dianggap condong dengan Jabariyah dengan lebih
mendahulukan wahyu (nash) daripada akal dengan dalih menetapkan akal menjadi
dasar aqal (nash). Asy’ari dengan berbagai teorinya diatas yang akhirnya
sebagai peletak dasar berdirinya faham Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja).
* Disampaikan pada Diskusi Komisariat Sunan
Kaliaga, Bidang 3 (Keagamaan), pada hari Senin, 16 November 2015. PK PMII UM.